Kasus pemasangan pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, telah menjadi isu yang menuai polemik dan menarik perhatian publik. Nelayan setempat merasa dirugikan karena aktivitas mereka terhambat, sementara pihak berwenang mempertanyakan legalitas pemasangan pagar tersebut. Dari perspektif hukum, beberapa aspek yang perlu diperhatikan meliputi hak atas tanah, perizinan wilayah perairan, serta dampak hukum lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Kasus ini juga menimbulkan kekhawatiran akan adanya praktik penyalahgunaan kewenangan serta potensi pelanggaran hukum dalam pengelolaan ruang laut yang seharusnya menjadi milik publik.
1. Aspek Hukum Pertanahan dan Tata Ruang
Dalam konteks pertanahan, laut merupakan bagian dari wilayah negara yang pengelolaannya diatur oleh undang-undang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), kepemilikan atas tanah diatur berdasarkan hak yang diberikan negara, termasuk dalam hal tanah yang mengalami abrasi dan berubah menjadi perairan. Menteri ATR/BPN telah menegaskan bahwa tanah yang musnah secara alami akibat abrasi atau faktor lainnya tidak dapat dijadikan objek sertifikasi hak milik atau hak guna bangunan (HGB). Oleh karena itu, penerbitan sertifikat atas wilayah yang telah berubah menjadi laut dapat dianggap cacat hukum, dan pemerintah dapat membatalkan sertifikat tersebut melalui prosedur hukum yang berlaku.
2. Aspek Perizinan dan Pengelolaan Wilayah Laut
Pemasangan pagar bambu di laut harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan serta peraturan turunannya. Setiap aktivitas di zona pesisir dan perairan harus mendapatkan izin dari otoritas terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan pemerintah daerah. Dalam kasus ini, jika pemasangan pagar dilakukan tanpa izin resmi, maka dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum administratif, yang dapat berujung pada sanksi pencabutan atau pembongkaran pagar oleh pihak berwenang.
Selain itu, muncul dugaan bahwa pemasangan pagar ini dilakukan untuk kepentingan komersial tertentu yang dapat berpotensi merugikan akses masyarakat terhadap laut. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih ketat dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum guna mencegah praktik monopoli terhadap sumber daya laut oleh pihak-pihak tertentu.
3. Aspek Hukum Lingkungan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap kegiatan yang berpotensi mengubah ekosistem laut wajib memiliki kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Pemasangan pagar bambu dalam skala besar berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem laut, menghambat jalur pelayaran nelayan, serta berdampak pada kehidupan biota laut. Tanpa kajian lingkungan yang memadai, tindakan ini dapat dianggap melanggar hukum dan pelakunya dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana.
Para nelayan berharap pemerintah tidak hanya membongkar pagar tersebut, tetapi juga melakukan pemulihan lingkungan yang mungkin telah rusak akibat pemasangan pagar bambu ini. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat menetapkan regulasi yang lebih ketat terkait pengelolaan wilayah laut yang adil dan berkelanjutan.
4. Potensi Tindak Pidana dan Sengketa Perdata
Jika terbukti bahwa pemasangan pagar dilakukan dengan tujuan tertentu yang merugikan pihak lain, seperti nelayan atau masyarakat pesisir, maka dapat terjadi sengketa hukum yang melibatkan klaim perdata atas kerugian ekonomi yang dialami. Selain itu, jika ada indikasi penggunaan dokumen hukum yang tidak sah atau pemalsuan data dalam penerbitan sertifikat, maka dapat masuk dalam ranah tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen atau Pasal 385 KUHP terkait penyerobotan tanah.
Pemerintah diharapkan dapat menindak tegas oknum yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dalam kasus ini, baik melalui jalur perdata maupun pidana, guna memberikan efek jera serta menjamin keadilan bagi masyarakat pesisir yang terdampak.
Kesimpulan dan Harapan kepada Pemerintah
Dari aspek hukum, pemasangan pagar bambu di laut harus dilakukan dengan memperhatikan berbagai regulasi terkait tata ruang, perizinan, serta dampak lingkungan. Pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN dan KKP memiliki kewenangan untuk meninjau ulang legalitas pagar tersebut dan mengambil langkah hukum yang sesuai jika ditemukan pelanggaran.
Masyarakat berharap pemerintah tidak hanya bertindak reaktif dalam kasus ini, tetapi juga melakukan reformasi regulasi yang lebih transparan dan akuntabel dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Diperlukan peningkatan pengawasan, keterbukaan informasi kepada publik, serta pemberdayaan masyarakat nelayan agar mereka memiliki akses yang lebih adil terhadap sumber daya kelautan.
Langkah ke depan yang perlu dilakukan adalah:
- Audit hukum dan administratif terhadap status lahan dan izin terkait.
- Penyelidikan hukum terkait dugaan pelanggaran hak masyarakat pesisir.
- Sosialisasi dan mediasi antara pihak yang berkepentingan untuk mencapai solusi hukum yang adil dan berkeadilan.
- Peningkatan pengawasan terhadap praktik reklamasi dan penguasaan wilayah laut.
Dengan pendekatan hukum yang tepat dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan, diharapkan permasalahan ini dapat diselesaikan dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat serta kelestarian lingkungan laut secara berkelanjutan.