Penjualan Tanah Sawah Hijau yang Dikaplingkan: Tinjauan Hukum, Dampak, dan Sanksi

 

Fenomena penjualan tanah sawah hijau yang masih produktif, lalu dikaplingkan dan dijual sebagai lahan perumahan atau investasi, menjadi persoalan serius di berbagai daerah. Praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berdampak besar terhadap keberlanjutan lingkungan, ketahanan pangan, dan tata ruang wilayah. Penjualan seperti ini sering kali dilakukan tanpa mematuhi prosedur hukum yang berlaku, sehingga merugikan masyarakat dan negara.

Landasan Hukum Perlindungan Lahan Sawah

Tanah sawah produktif dilindungi oleh beberapa peraturan, salah satunya adalah Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Undang-undang ini menegaskan bahwa alih fungsi lahan pertanian tanpa izin pemerintah dilarang keras. Selain itu, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur bahwa setiap perubahan peruntukan lahan harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Pelanggaran terhadap ketentuan ini tidak hanya melanggar hukum administratif, tetapi juga dapat berujung pada sanksi pidana.

Dampak Negatif Penjualan Tanah Sawah Hijau

  1. Ketahanan Pangan Terancam:
    Alih fungsi lahan sawah produktif menjadi area non-pertanian langsung mempengaruhi produksi pangan nasional. Penurunan luas lahan sawah memaksa pemerintah meningkatkan impor pangan, yang pada akhirnya merugikan petani lokal.

  2. Kerusakan Lingkungan:
    Lahan sawah memiliki fungsi ekologi yang penting, seperti menyerap air hujan dan mencegah banjir. Ketika sawah diubah menjadi kapling, sistem irigasi sering kali rusak, yang memperburuk risiko bencana lingkungan.

  3. Konflik Sosial:
    Penjualan tanah sawah yang dikaplingkan tanpa izin kerap memicu konflik, baik antara pemilik tanah, pembeli, maupun masyarakat sekitar. Pembeli sering merasa dirugikan karena tanah yang dibeli ternyata tidak sesuai peruntukannya secara hukum.

Sanksi Hukum bagi Pelaku

Praktik ini dapat dikenakan berbagai sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan:

1. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 2009 (PLP2B):

  • Pelaku yang mengalihfungsikan lahan sawah tanpa izin dapat dikenakan pidana penjara hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar (Pasal 73).
  • Pemerintah juga dapat memulihkan fungsi lahan ke kondisi awal, dengan biaya ditanggung oleh pelaku.

2. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 (Penataan Ruang):

  • Pelaku yang melanggar tata ruang dapat dikenakan pidana penjara hingga 3 tahun dan/atau denda maksimal Rp500 juta (Pasal 69-70).
  • Pemerintah daerah berwenang mencabut izin, menghentikan kegiatan pembangunan, atau memulihkan lahan.

3. Berdasarkan KUHP Pasal 385 Ayat (1):

  • Jika penjualan dilakukan tanpa hak atau dengan dokumen palsu, pelaku dapat dikenakan pidana penjara hingga 4 tahun.

4. Sanksi Perdata:

  • Masyarakat atau pembeli yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata untuk menuntut pembatalan transaksi dan ganti rugi material serta immaterial.

Modus yang Sering Digunakan Pelaku

Pelaku sering kali memanfaatkan lemahnya pengawasan dengan memalsukan dokumen perizinan atau bekerja sama dengan oknum pejabat. Mereka mengklaim bahwa tanah sudah berubah status menjadi non-pertanian tanpa melalui prosedur yang sah. Hal ini menunjukkan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas dan transparan.

Kritik dan Harapan untuk Penegakan Hukum

Penegakan hukum terhadap pelaku masih lemah, baik karena minimnya pengawasan maupun keterlibatan oknum yang memperburuk situasi. Pemerintah harus memperkuat pengawasan dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas Pertanian. Selain itu, penguatan transparansi dalam pengelolaan tata ruang sangat diperlukan untuk mengurangi celah hukum yang sering dimanfaatkan pelaku.

Solusi dan Langkah Ke Depan

  1. Edukasi Masyarakat:
    Pemerintah perlu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga tanah sawah dan risiko hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam alih fungsi ilegal.
  2. Digitalisasi Data Pertanahan:
    Dengan sistem digital, status tanah dapat dipantau secara real-time untuk mencegah manipulasi data atau dokumen palsu.
  3. Reformasi Tata Ruang:
    Pemerintah perlu merevisi peraturan tata ruang dan memperkuat mekanisme pengawasan untuk memastikan pelanggaran seperti ini tidak terulang.

Kesimpulan

Penjualan tanah sawah hijau yang dikaplingkan tanpa izin adalah pelanggaran serius yang berdampak besar pada ketahanan pangan, lingkungan, dan kehidupan sosial masyarakat. Dengan penerapan sanksi yang tegas, edukasi kepada masyarakat, dan reformasi kebijakan tata ruang, diharapkan praktik ini dapat diminimalkan. Penegakan hukum yang tegas dan transparan adalah kunci untuk melindungi lahan produktif demi keberlanjutan pembangunan dan masa depan bangsa.