Dalam hukum perdata Indonesia, seseorang yang didiagnosis mengalami gangguan jiwa dapat ditempatkan di bawah pengampuan (curatele). Pengampuan bertujuan untuk melindungi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dari tindakan hukum yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun pihak lain. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah keabsahan tindakan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang berada dalam kondisi kejiwaan yang terganggu, terutama dalam konteks pembuatan akta notariil.
Artikel ini akan menguraikan syarat-syarat pengampuan bagi seorang ibu yang didiagnosis mengalami gangguan jiwa serta implikasi hukumnya, termasuk sah atau tidaknya akta notariil yang dibuat oleh individu dengan kondisi tersebut.
I. Syarat Pengampuan bagi Seseorang dengan Gangguan Jiwa
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), pengampuan diatur dalam Pasal 433-448 KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang dapat ditempatkan di bawah pengampuan apabila:
- Mengalami gangguan jiwa atau daya pikir yang mengakibatkan ketidakmampuan dalam mengurus kepentingannya sendiri.
- Ditetapkan melalui putusan pengadilan berdasarkan permohonan keluarga, kejaksaan, atau pihak yang berkepentingan.
- Pemeriksaan medis dari dokter jiwa atau psikiater membuktikan adanya gangguan kejiwaan yang permanen atau berkelanjutan.
- Pengampuan tidak berlaku otomatis, melainkan harus diajukan secara resmi ke pengadilan negeri oleh keluarga atau pihak yang berkepentingan.
Jika pengadilan mengabulkan permohonan pengampuan, maka yang bersangkutan akan memiliki seorang pengampu yang bertindak sebagai perwakilan hukum dalam berbagai aspek kehidupan hukumnya.
II. Implikasi Hukum Tindakan yang Dilakukan oleh ODGJ
Seseorang yang telah berada dalam keadaan gangguan jiwa tanpa adanya pengampuan yang sah tetap dianggap tidak cakap hukum berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata. Implikasinya adalah:
- Tidak memiliki kapasitas hukum untuk membuat perjanjian yang sah.
- Tindakan hukum yang dilakukan dapat dibatalkan (vernietigbaar) jika dapat dibuktikan bahwa yang bersangkutan dalam kondisi tidak sehat secara mental saat melakukan tindakan tersebut.
- Jika telah berada dalam status pengampuan, maka setiap tindakan hukum harus dilakukan oleh atau dengan persetujuan pengampunya.
III. Implikasi terhadap Akta Notariil yang Dibuat oleh ODGJ
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kecakapan para pihak. Jika seseorang yang memiliki gangguan jiwa menandatangani suatu akta notariil, maka terdapat beberapa kemungkinan hukum:
- Jika tidak dalam status pengampuan tetapi dapat dibuktikan mengalami gangguan jiwa saat menandatangani akta, maka akta tersebut dapat dibatalkan oleh pengadilan (putusan pengadilan diperlukan).
- Jika sudah dalam status pengampuan, maka setiap akta yang dibuat tanpa keterlibatan pengampu dianggap batal demi hukum (null and void).
- Notaris yang mengetahui adanya kondisi gangguan jiwa tetapi tetap membuat akta dapat dianggap melanggar kode etik dan dapat dituntut secara perdata maupun administratif.
IV. Proses Pembatalan Akta Notariil yang Dibuat oleh ODGJ
Jika ada indikasi bahwa seseorang dengan gangguan jiwa telah membuat akta notariil, maka langkah-langkah yang dapat diambil adalah:
- Mengajukan gugatan pembatalan ke pengadilan negeri dengan dasar bahwa pihak yang bersangkutan tidak cakap hukum saat membuat akta.
- Mengajukan bukti berupa rekam medis atau keterangan ahli psikiatri untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan dalam kondisi tidak sehat mental saat menandatangani akta.
- Jika gugatan dikabulkan, maka akta dianggap tidak memiliki kekuatan hukum dan segala akibat hukumnya batal sejak awal.
Kesimpulan
Pengampuan bagi seorang ibu yang didiagnosis mengalami gangguan jiwa merupakan proses hukum yang harus melalui putusan pengadilan. Tanpa adanya pengampuan, tindakan hukum yang dilakukan oleh yang bersangkutan dapat dibatalkan jika dapat dibuktikan bahwa ia dalam kondisi tidak sehat mental. Dalam konteks akta notariil, seorang notaris harus memastikan kecakapan hukum pihak yang menandatangani akta. Jika akta dibuat oleh seseorang dengan gangguan jiwa, maka akta tersebut dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan.
Dengan demikian, keluarga atau pihak yang berkepentingan perlu segera mengajukan pengampuan untuk melindungi hak-hak hukum individu dengan gangguan jiwa dan mencegah timbulnya akibat hukum yang merugikan.